Kopi liberika tungkal komposit yang ditanam di lahan gambut Kabupaten Tanjung Jabung. |
Provinsi Jambi mempunyai 900 ribu hektar lahan gambut yang tersebar di tiga kabupaten, yakni Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur dan Tanjung Jabung Barat.
Dari angka itu, 151 ribu hektar dinyatakan rusak lantaran digerus perusahaan perkebunan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), dan Hak Penguasaan Hutan (HPH). Akan tetapi, gambut tak melulu identik dengan kebun sawit, HTI atau HPH.
Seperti yang terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, yang justru populer dengan budidaya kopi varietas liberika.
Budidaya kopi di lahan gambut ini sudah dilakoni sejak 1940-an dengan luas mencapai 2500 hektar.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi KBR.
Berawal dari sebuah rumah panggung yang dikelilingi kebun kopi, belasan cangkir kopi disuguhkan oleh pemilik rumah kepada para pengunjung.
Pemilik rumah yang sekaligus Ketua Kelompok Tani Sri Utomo III Parit Tomo itu bernama Pak Sumarno.
Pak Sumarno menyuguhkan kopi yang bubuknya tampak berwarna coklat serta bercita rasa yang unik dan sulit dilupakan setelah diseduh, yaitu sedikit asam dan beraroma rubbery.
Ternyata, inilah yang dinamakan kopi liberika tunggal komposit, yang berciri khusus karena sejak tahun 1940-an penanaman kopi ini dilakukan di lahan gambut Kabupaten Tanjung Jabung.
Pak Sumarno bercerita, kopi liberika memiliki produktivitas yang lebih tinggi dikarenakan kopi ini berbuah sepanjang tahun.
Selain itu, kopi liberika juga ramah lingkungan atau tak merusak lahan gambut. Kopi ini mampu menerima level air setinggi 40-60 sentimeter dari dasar gambut hingga ke permukaan.
Pria berusia 56 tahun ini juga menambahkan, dengan tanaman kopi ini tak lagi perlu membuat kanal, melainkan cukup hanya dengan parit kecil atau dikenal parit cacing sedalam tiga jengkal dan lebar tiga jengkal untuk mengalirkan air serta parit berukuran besar untuk menampung air.
"Dulu penggalian irigasi parit ini nggak pake alat, pake cangkul. Orang zaman dulu, cuma pake cangkul aja, kalau orang Jawa bilang pake pacul. Baru sekarang inilah ada penggalian parit lagi, parit cacing kalau kami bilang. Ada aliran parit kecil yang bisa dilihat di sebelah rumah, ada parit-parit cacing untuk mengalirkan air di perkebunan, "kata Sumarno.
Sumarno bersama 40 orang yang tergabung dalam Kelompok Tani Sri Utomo III bisa memanen 500-600 kilogram kopi perhektar dalam setahun. Namun jika tak masa panen, petani masih bisa memanen 30-50 kilogram dalam sebulan.
Hanya saja, dalam tiga tahun terakhir, petani kopi di Tanjung Jabung Barat agak kewalahan dengan serangan hama yang belum juga bisa diatasi.
Sementara cara yang digunakan adalah membabat pohon kopi yang terkena hama agar tak menjalar kemudian menggantinya dengan pohon baru.
“Kalau hama yang sekarang ini kaya sejenis apa ya, kalau dibilang akar jamur bukan juga. Tapi itu tau-tau matinya dari sebelah menyerang batang. Ada yang sebelah mati nanti sebelah lagi ikut mati. Jadi nanti timbul jamur semacam akar putih. Sebenarnya awalnya tidak dari akar putih, kalau akar putih nyerangnya menurut yang penelitian itu langsung menyerang pohon sebelah yang melekat pada pohon yang akar putih tadi. Jadinya sebelah sini ada yang mati, sebelah sana tidak. Jadi saya amati saya lihat dari batang mati sebelah. Nanti setelah yang sebelah mati, sebelahnya lagi ikut mati. Baru setelah itu timbul jamur,” papar Sumarno.
Meski sumber utama pendapatan warga setempat, Kopi liberika Tungkal Komposit ini belum optimal pemasarannya.
"Sekarang ini yang kami rasakan, masalah pasarnya yang belum banyak ketemu. Pasarnya belum memuaskan buat kita selain ke Malaysia yang asalan tadi. Artinya, pengelolaan melalui SOP ini pasarnya belum ketemu yang pasti. Semua itu, saya anggap seperti bikin sample. Orang mau minta 50 kilogram, 30 kilogram, kan belum berlanjut gitu loh. Kalau sudah berlanjut, tiap bulan sekian artinya pasar sudah tetap. Kalau sekarang, kami rasa pasarnya belum memuaskan sesuai SOP kita, "ungkap Sumarno.
Sumarno mengakui, harga jual kopi liberika memang lebih mahal ketimbang arabika atau robusta, Rp70 ribu perkilogram. Sementara dua jenis lainnya, antara Rp16 ribu-Rp18 ribu perkilogram.
Di dalam negeri sendiri, kopi liberika tak begitu dikenal. Selain karena harganya yang mahal itu.
Pendamping petani dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Bimo Primono menyebut, pemasaran kopi masih lesu.
Petani bisa mengusahakan dengan memilah kopi kualitas bagus lalu dikemas menggunakan merek Kopi Liberika Tungkal Komposit yang sudah dipatenkan Kementerian Hukum dan HAM.
"Marketingnya masih kurang sehingga petani di sana lebih mengutamakan komoditi bukan produk. Baru-baru ini kita didorong untuk membuat kemasan. Kemarin, kita bertemu di sana dan mulai pengemasan. Jadi, masih dalam upaya membangun brand sendiri, "kata Bimo.
Salah satu cara mempromosikan kopi gambut ini, dengan ikut beragam pameran seperti Jambore Masyarakat Gambut 2016 di Jambi.
Kegiatan yang digagas Badan Restorasi Gambut (BRG) ini diikuti berbagai elemen masyarakat gambut dari tujuh provinsi.
"Dengan adanya BRG dan Jambore Masyarakat Gambut ini, harapannya bisa mempromosikan kopi ini disamping melihat potensi kopi yang cukup menjanjikan di masa depannya.Itulah kenapa, Warsi juga menginisiasi atau menumbuhkan kembali masyarakat di daerah lain. Sebabnya, budidaya kopi sentralnya ada di sini. Meski di daerah lain juga ada karena dari dulu sudah ditanam, tetapi trennya mulai menurun. Jadi, kita coba menimbulkan minat mereka kembali untuk dijadikan daerah pengembangan," tutup Bimo.
Sumber.