Ilustrasi lahan gambut. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Badan Restorasi Gambut (BRG) mencatat beberapa pencapaian penting pada tujuh provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Papua sepanjang 2017.
Pencapaian itu di antaranya adalah luas lahan terbasahi, jumlah desa yang diinisiasi, serta kelompok masyarakat (Pokmas) yang terlibat dalam revitalisasi mata pencaharian.
Kepala BRG Nazir Foead mengatakan pihaknya menginisiasi 75 desa di tujuh provinsi itu dengan total luas lahan 1.180.446 hektare. Hal itu dilakukan dalam rangka memelihara ekosistem gambut.
Desa-desa itu tersebar di tujuh provinsi yakni Riau (11 desa); Jambi (10 desa); Sumatera Selatan (15 desa); Kalimantan Barat (16 desa); Kalimantan Tengah (10 desa); Kalimantan Selatan (10 desa); serta Papua (3 desa).
“Restorasi tidak sekadar membasahi lahan gambut dan menanam kembali untuk memperbaiki ekosistem yang rusak, tapi juga memberdayakan masyarakat yang hidup di lahan gambut,” kata Nazir dalam keterangannya, Jumat (29/12).
Dia menuturkan dalam Rencana Strategis BRG 2016-2020 disebutkan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut berkaitan erat dengan pencapaian manfaat ekonomi, sosial, dan yang paling utama—ekologi.
Dia melanjutkan BRG juga merevitalisasi mata pencaharian 101 kelompok masyarakat (Pokmas). Sejumlah cara di antaranya adalah membina masyarakat untuk membuka lahan tanpa bakar, memberikan pelatihan budi daya ikan air tawar, hingga beternak dan budidaya lebah madu.
Khusus lahan terbasahi, BRG membangun infrastruktur pembasahan sepanjang tahun ini yakni sumur bor, sekat kanal, dan penimbunan kanal pada sejumlah provinsi. Luas pembasahan sendiri mencapai 103.476 hektar. Dari luas itu, lebih 60 persen—sekitar 62.126 hektar—berada di Kalimantan Tengah.
Jadi, sampai pertengahan Desember 2017, luas lahan yang direstorasi BRG mencapai 1,2 juta hektar. Jumlah ini belum termasuk 93 ribu hektar lahan gambut yang direstorasi mitra BRG, dan tersebar di pelbagai provinsi.
Kepala BRG Nazir Foead. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Kebakaran Hutan dan Lahan
Capaian lainnya adalah penyusunan Rencana Restorasi Ekosistem Gambut (RREG) Nasional dan Provinsi serta Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut.
Sasaran RREG, seperti tertuang dalam Rencana Strategis BRG 2016-2020, adalah kawasan ekosistem gambut terdegradasi akibat kebakaran hutan dan lahan seluas dua juta hektare. Yang menjadi objeknya adalah Kawasan Hidrologis Gambut (KHG).
Pencegahan lainnya juga dilakunan BRG melalui Inventarisasi Pemetaan Ekosistem Gambut pada delapan KHG.
Ini tersebar di Sungai Lalan-Sungai Merang, Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (Sumatera Selatan); Sungai Tapung Kiri-Sungai Kiyap (Riau); Sungai Ambawang-Sungai Kubu (Kalimantan Barat); Sungai Utar-Sungai Serapat (Kalimantan Tengah/Kalimantan Barat); serta Sungai Barito-Sungai Alalak dan Sungai Maluka-Sungai Martapura (Kalimantan Selatan).
Sebelumnya, BRG memetakan ekosistem gambut di KHG Sungai Saleh-Sungai Sugihan, KHG Sungai Cawang-Sungai Air Lalang (Sumatera Selatan), dan KHG Sungai Kahayan-Sungai Sebangau (Kalimantan Tengah).
Nazir menuturkan data ekosistem gambut sangat penting bagi BRG dan pihak-pihak terkait, karena bisa digunakan untuk mengidentifikasi dan intervensi restorasi.
BRG sendiri menggunakan teknologi Light Detection and Ranging (LiDAR), data ekosistem yang rinci, termasuk data topografi, tutupan lahan, kondisi hidrologis, serta estimasi kandungan karbon.
“Sampai November 2017, BRG membuat titik pengamatan tinggi muka air lahan gambut. Data tinggi muka air dapat diakses secara real time. Sukses ini membuat BRG menambah lagi 20 titik pengamatan sepanjang Desember 2017,” kata Nazir.
Titik pengamatan terbanyak terdapat di Sumatera Selatan, yaitu delapan titik, sedangkan Riau dan Jambi masing-masing tujuh titik. Khusus Kalimantan, masing-masing adalah Kalimantan Tengah dengan tujuh titik dan Kalimantan Barat, satu titik.
“Tidak sekadar membasahi, mengembalikan ekosistem gambut, menjadikan masyarakat sebagai garda depan pengelolaan lahan gambut, tapi juga pencegahan dini bencana kebakaran,” tegas Nazir.
Sumber.