Seekor harimau sumatera yang berstatus sebagai satwa yang dilindungi dibunuh oleh warga di Desa Hutapangan, Kecamatan Batang Natal, Mandailing Natal, Sumatera Utara dan kemudian digantung. Sebagian laporan media menyatakan bahwa warga membunuh harimau tersebut karena menganggapnya sebagai siluman, namun Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Alam (BBKSDA) setempat membantahnya, dan mencurigai kemungkinan penyebab lain.
Dalam keterangan resminya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa "Kepala Balai Taman Nasional Batang Gadis (BTNBG) menerima laporan ada seekor harimau Sumatera telah masuk ke rumah warga di Desa Bangkelang Kec. Batang Natal Kab. Mandailing Natal (Madina) pukul 07.49 WIB (04/03)."
"Kepala BTNBG menghubungi Bidang KSDA Wil III dan segera mempersiapkan tim untuk ke lokasi dan menghubungi Dandim 0212 dan Wakapolres Madina utk mengarahkan anggotanya di lapangan untuk tidak membunuh/menembak harimau tersebut," lanjut pernyataan tersebut.
Namun, "karena keresahan dan ketakutan, akhirnya polisi setempat menembak mati harimau tersebut atas desakan masyarakat."
Pernyataan resmi itu juga menyampaikan bahwa, "Harimau masuk ke lingkungan warga diduga karena habitatnya terganggu oleh aktivitas illegal logging."
"Diduga siluman"
Beberapa laporan media menyebut bahwa salah satu faktor yang menyebabkan warga membunuh harimau tersebut adalah karena satwa tersebut dituduh sebagai siluman.
Namun Kepala Balai Besar KSDA, Hotmauli Sianturi, membantahnya.
"Pada 16 Februari, ada yang bilang harimau jadi-jadian, dikejar sampai ke hutan, ditemukan satu TKP, ada satu gua. Ya inilah harimau ini," kata Hotmauli pada BBC Indonesia, Senin (05/03).
Mau dengan alasan apapun, masuk ke kampung warga. Tetep manusia yg salah. Memang mgkn bukan warga situ lgsg yg salah, tp pihak ke3 lain yg ngadu domba antara harimau dan masyarakat kampung terdekat. Contoh: mereka bangun perusahaan kelapa sawit, itu ngilangin habitat mereka kan
— Hiranya R (@irnya) 5 Maret 2018
Namun dia tak yakin bahwa 'faktor siluman' yang membuat warga membunuh harimau yang sempat bersembunyi di bawah rumah warga itu.
"Karena pengalaman kita di tempat lain, kalau ada peristiwa seperti itu, justru mereka (warga) sangat mengharapkan kehadiran kita untuk membantu, entah menghalau atau memasang jebakan untuk satwanya. Ini mereka sepertinya marah sekali dan malah mengusir kita, memaksa kita untuk keluar, dan menandatangani surat pernyataan. Mereka menolak kehadiran aparat kita di sana untuk menyelamatkan. Mereka mengusir kita," ujarnya.
Petugas yang sudah datang ke lokasi sejak 28 Februari, kemudian "disandera dan dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan tidak akan memproses di bawah ancaman".
Menurut Hotmauli, setelah harimau dibunuh pun, petugas tetap tidak tidak boleh masuk ke TKP.
Baru setelah proses negosiasi antara petugas Polsek dan kerumunan massa, dan setelah bangkai dibawa ke polres, BKSDA menyadari ada beberapa bagian tubuh harimau yang hilang, seperti kulit harimau, kuku, dan taring.
"Kalau cuma self-defense atau ketakutan, cukup dibunuh saja, kenapa ada bagian-bagian tubuh yang hilang?" ujarnya.
"Yang kami dengar ada indikasi juga illegal logging, tapi indikasi itu kan perlu dibuktikan. Sebelumnya ada juga (harimau) terjebak, tapi ya masyarakat memberi tahu ke aparat, kemudian (harimau) dievakuasi, tidak ada yang seperti ini," ujar Hotmauli.
Pernyataan resmi dari KLHK menyebut bahwa dalam dua bulan terakhir, terjadi konflik antara harimau dengan masyarakat Kecamatan Batang Natal.
Harimau dilaporkan memasuki ladang dan menyebabkan satu orang terluka.
Sementara itu, juru bicara KLHK, Djati Witjaksono mengatakan bahwa "tidak mungkin ada penegakan hukum" jika ada pembunuhan satwa dilindungi secara beramai-ramai oleh warga.
"Kalau masyarakat, masa sekampung itu mau diproses? Kan tidak mungkin juga. Kecuali kalau ada satu orang yang menombak. Kita hanya sosialisasi yang lebih dekat, lebih intens lagi, karena harimau ini dianggap sebagai hama, padahal kan manusia yang mengganggu habitat dia," ujar Djati kepada BBC Indonesia, Senin (05/03).
Harimau Sumatera, oleh kelompok International Union for Conservation of Nature, masuk dalam kategori hewan yang kritis dan terancam punah, dan diperkirakan hanya ada 400 sampai 500 ekor saja yang hidup di alam liar.
Sumber.